Tubuh adalah materi yang dapat dilihat, diraba, dan dirasa. Ia berwujud konkret,
namun tak abadi. Jika manusia meninggal,
tubuhnya akan hancur dan lenyap, namun jiwa yang terdapat di dalam tubuh yang tak dapat dilihat, diraba, dan
dirasa serta bersifat abstrak akan abadi. Saat manusia meninggal, jiwa terlepas
dari tubuh dan kembali kepada Tuhan dan jiwa tak mengalami kehancuran. Jiwa adalah
roh yang berada di dalam tubuh manusia sebagai penggerak dan sumber kehidupan.
B. Makhluk ciptaan Tuhan yang paling
sempurna dibandingkan makhluk Tuhan lainnya.
Kesempurnaanya terletak pada adab dan budaya karena manusia dilengkapi
dengan akal, perasaan, dan kehendak yang terdapat di dalam jiwa manusia. Dengan
akal , manusia mampu menciptakan ilmu penhetahuan dan teknologi. Adanya nilai
baik dan buruk, mengharuskan manusia
mampu mempertimbangkan, menilai dan berkehendak menciptakan kebenaran,
keindahan, kebaikan atau sebaliknya.Dengan adanya perasaan, manusia mampu
menciptakan kreasi. Daya rasa dalam diri manusia ada dua macam, yaitu perasaan inderawi dan
perasaan rohani. Perasaan inderawi ialah rangsangan jasmani melalui
pancaindera, tingkatnya rendah dan terdapat pada manusia dan binatang. Perasaan
rohani ialah perasaan luhur yang hanya terdapat pada manusia, diantaranya :
a. Perasaan Intelektual, perasaan yang
berkenaan dengan ilmu pengetahuan.
b. Perasaan estetis, perasaan yang
berkenaan dengan keindahan.
c. Perasaan etis, perasaan yang
berkenaan dengan kebaikan.
d. Perasaan diri, perasaan yang
berkenaan dengan harga diri karena ada kelebihan dari yang lain.
e. Perasaan social, perasaan yang
berkenaan dengan kelompok atau hidup bermasyarakat.
f. Perasaan religious, perasaan yang berkenaan
dengan agama atau kepercayaan.
Adanya kehendak dari setiap manusia mampu menciptakan perilaku
tentang kebaikan menurut moral.
C.
Makhluk
biokultural ( makhluk hayati yang budayawi ).
Manusia adalah hasil dari tindak atau interaksi factor-faktror hayati dan
budayawi. Sebagai makhluk hayati, manusia dapat dipelajari dari segi-segi
anatomi, fisuiologi, biokimia, psikologi, patologi, genetika, biodemografi,
evolusi biologisnya, dan sebagainya. Sebagai makhluk budayawi, manusia dapat
dipelajari dari segi-segi kemadyarakatan, kekerabatan, psikologi social,
kesenian, perkakas, bahasa, dan sebagainya.
D. Makhluk
ciptaan Tuhan yang terikat dengan lingkungan (ekologi), mempunyai kualitas dan martabat karena kemampuan bekerja dan
berkarya.
Soren kienkegaard seorang filsuf Denmark pelopor ajaran eksistensisme
memandang manusia sebagai kehidupan konkret adalah makhluk alamiah yang terikat
dengan lingkungannya, memiliki sifat-sifat alamiah dan tunduk pada hukum alamiah
pula.
Hidup manusia mempunyai tiga taraf, yaitu estetis, etis, dan religious. Dengan
kehidupan estetis, manusia mampu menangkap dunia di sekitarnya sebagai dunia
yang mengagumkan dan mengungkapkan kembali dalam lukisan, tarian, nyanyian yang
indah. Dengan etis, manusia meningkatkan kehidupan estetis ke dalam tingkatan
manusiawi dalam bentuk-bentuk keputusan bebas dan dipertanggungjawabkan. Dengan
kehidupan religious, manusia menghayati pertemuannya dengan Tuhan.
Semakin dekat seseorang dengan Tuhan, semakin dekat pula ia menuju
kesempurnaan dan semakin jauh ia dilepaskan dari rasa kekhawatiran. Semakin mendalam
penghayatan terhadap Tuhan semakin bermakna pula kehidupannya dan akan terungkap
pula kenyataan manusia individual atau kenyataan manusia subyektif yang
memiliki harkat dan martabat tinggi.
Artikel Terkait
Oleh Raka Santeri
Selasa, 10 Agustus 2010 | 03:05 WIB
Ketuhanan Yang Mahaesa sebagai sila pertama Pancasila
tampaknya masih belum dihayati benar oleh masyarakat pemeluk agama ataupun oleh
aparat pemerintah sendiri. Padahal, sila pertama ini adalah dasar yang
memberikan ”roh” kepada empat sila yang lainnya.
Bukti kurang dihayatinya sila Ketuhanan Yang Mahaesa itu
dapat kita lihat dari terus berlanjutnya kebencian yang disusul kekerasan atas
nama agama tanpa tindakan berarti dari pemerintah untuk menghentikannya.
Padahal, sebentar lagi kita memperingati ulang tahun ke-65 hari proklamasi
kemerdekaan kita. Dalam usia ini, negara seharusnya sudah mampu memberi
perlindungan kepada segenap warga masyarakatnya serta mencegah tindakan barbar
dari mana pun datangnya.
Agama dan Tuhan
Faktor utama penyebab berlanjutnya kebencian dan kekerasan
atas nama agama mungkin karena sebagian masyarakat kita lebih memuliakan agama
daripada Tuhan. Mereka lupa bahwa agama— betapapun mulianya—adalah sarana untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan, dan Tuhan Yang Mahasuci hanya bisa didekati
dengan kesucian hati yang terpancar dalam perbuatan penuh kasih dan sayang:
memberi dan melayani. Karena itulah pula, Tuhan disebut Mahapengasih dan
Mahapenyayang.
Karena kecenderungan lebih memuliakan agama daripada Tuhan,
maka wahyu Tuhan pun hendak dikapling-kapling. Kebenarannya dikotak-kotakkan
menurut agama masing-masing, seolah Tuhan tak mampu menciptakan kebenaran
universal bagi seluruh umat manusia. Pandangan, tindakan, atau sikap yang
tampak berbeda dari ajaran yang diyakini segera dicurigai dan harus
disingkirkan, dilawan, kalau perlu dengan tindak kekerasan.
Sikap pemeluk agama seperti itu ternyata menimbulkan
kebingungan pada sejumlah orang. ”Buat apa agama kalau memecah belah di antara
kita,” komentar seorang mahasiswa dalam suatu acara Mahasiswa Lintas Agama
Se-Bali, 5-7 Agustus lalu.
Temannya yang lain bertanya, ”Dalam setiap agama terdapat
ajaran yang berbeda-beda. Apakah ajaran Tuhan yang sesungguhnya?” Sebelumnya,
saya mendapat undangan bedah buku Keyakinan Yang Membebaskan dan Kebohongan.
Ternyata, penulisnya telah keluar dari agama yang dipeluknya dan kini hanya
percaya kepada Tuhan.
Dalam kaitan ini menjadi relevan seruan kitab suci Weda yang
berbunyi ”Om, anobadrah kratavo yantu visvatah” (Ya Tuhan, semoga kebenaran
datang dari segala penjuru). Seruan Weda ini menganjurkan umat Hindu menerima
kebenaran dari mana pun datangnya: dari ilmu pengetahuan, dari filsafat, dari
mistik, dan dari ajaran agama ataupun kepercayaan lainnya.
Ukuran kebenaran adalah mampu lebih mendekatkan diri kepada
Tuhan melalui empat jalan (catur marga): bhakti marga (kasih sayang yang tulus
ikhlas), karma marga (kerja sebagai ibadah), jnana marga (ilmu pengetahuan
untuk kebaikan manusia dan alam lingkungannya), serta yoga marga (mendekatkan
diri kepada Tuhan melalui meditasi dan samadi). Kekayaan budaya menjadi cara
pemujaan yang paling umum dalam bhakti marga, seperti terlihat pada meriah dan
indahnya sesajen dalam upacara-upacara di Bali.
Tri Hita Karana
Ketuhanan Yang Mahaesa sebagai sumber (roh) keempat sila
lainnya menjadikan Pancasila harus diwujudkan dalam semangat kesucian dan kasih
sayang pula. Dalam sudut pandang agama Hindu, mewujudkan masyarakat Indonesia
yang Pancasilais termasuk dalam tujuan agama: mokshartham jagathita atau
membangun kemakmuran lahiriah dan kesempurnaan batiniah. Kemakmuran lahiriah
semata akan membuat masyarakat Indonesia tidak berbahagia karena akan kering
dan kasar jiwanya. Sementara mengejar kesempurnaan jiwa semata akan membuat
bangsa kita tertinggal dalam perkembangan globalisasi yang sangat pesat,
khususnya di bidang ekonomi.
Maka, kemakmuran lahiriah dan kesempurnaan batiniah harus
diusahakan serentak. Di sini, terjalin Tri Hita Karana, yaitu hubungan yang
harmonis antara manusia dan Tuhan, antara manusia dan manusia, serta antara
manusia dan alam lingkungannya. Manusia menjadi titik pusat hubungan karena
oleh manusia dan untuk manusialah pada akhirnya segenap usaha pembangunan
dilakukan.
Manusia yang menjadi subyek dan obyek pembangunan harus
mengembangkan keadilan dan keadaban bagi kemajuan mereka sendiri (Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab). Sebagai filsafat bangsa dan negara, Pancasila memiliki
visi dasar yang bersumber pada hakikat manusia yang dirahmati oleh Tuhan Yang
Mahaesa.
Keesaan Tuhan yang tecermin pada konsep dharma dalam agama
Hindu menjiwai sesanti Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa. Manusia
Indonesia pun dalam mengejar cita-cita pembangunannya harus bulat dalam tekad
membangun Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia. Kalau demikian halnya, ya Tuhan, mengapa kami
membenci?
Raka Santeri Wartawan dan Wakil Ketua Parisada Hindu Dharma
Indonesia Bali
Pendapat :
Manusia merupakan makhluk yang telah dianugerahkan kesempurnaan berupa akal, rasa, dan kehendak dibanding dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Manusia diciptakan sebagai "khalifah" pemakmur bumi dengan segala kesempurnaanya itu. Dengan akal, manusia mampu menemukan teknologi dan ilmu pengetahuan. Dengan rasa, manusia mampu menemukan kreasi yang bersifat seni dan sebagai penggerak mengenai nilai intelektual, estetika, estetis, diri, sosial, dan religius. Dengan kehendak, manusia mampu berbuat perilaku kebaikan berdasarkan moral.
Manusia dengan dilengkapi akal, rasa, dan kehendak ternyata masih belum mampu menjadi sebenar-benarnya manusia dalam hakikat manusia itu sendiri. Kenyataan yang berada di dalam masyarakat bahwa sebagian masyarakat menunjukan penyimpangan perilaku dan pola pikir yang bersifat merusak, baik bagi diri sendri, sesama manusia, dan lingkungan sekitar.
Manusia merupakan bagian dari masyarakat dan masyarakat merupakan bagian dari suatu negara. Negara yang menaungi masyarakat tentu memiliki landasan negara dalam mengatur, menjamin, menyejahterakan, memakmurkan dan mengadili apa yang negara naungi tersebut. Negara, dalam hal ini Negara Indonesia, mempunyai landasan pokok bernegara, yaitu Pancasila. Pancasila sebagai landasan pokok negara, tentu saja memiliki sifat idealisme.
Pancasila terdiri atas lima sila dan di antara kelima sila tersebut, sila pertama merupakan dasar dari semua sila atau dapat disebut sebagai roh dari keempat sila lainnya. Sila pertama tersebut ialah Ketuhanan Yang Mahaesa, merupakan nilai Ketuhanan yang seharusnya menjadi pegangan dalam bersikap dengan sesama manusia dan lingkungan. Sehingga bila manusia mempelajari dan memahami nilai-nilai ketuhanan yang terkandung, dalam hal ini "asmaul husna" dalam ajaran Islam, serta mengimplementasikanya dalam kehidupan sehari-hari, dapat dipastikan manusia dapat menjadi sebenar-benarnya hakikat manusia.
Keadaan manusia, dalam hal ini masyarakat, menunjukan problematika tersendiri. Berdasarkan artikel di atas dan penyiaran media massa, khususnya media massa elektronik, masyarakat menunjukan gejala penyimpangan perilaku dan pola pikir yang seolah-olah masyarakat kehilangan arah dalam menjalani kehidupannya. Sebagian masyarakat tersebut terlihat kehilangan jati dirinya sebagai keberadaan dalam hakikat manusia. Mereka cenderung berbuat sesukanya tanpa peduli akan sekitarnya, baik itu masyarakat yang lain maupun lingkungan. Bagi mereka kehendak dan pikiran golongan, kesukuan menjadi dasar bagi mereka untuk bertindak. Dan sejarah mencatat bahwa tindakan yang berlandas pada golongan hampir selalu berakibat kerusakan dan kehancuran bila golongan dan golongan saling bersentuhan akibat tidak adanya jiwa, sikap, dan rasa toleransi.
Bukankah negara telah menyediakan, bahkan mempunyai Pancasila sebagai landasan pokok yang jelas dalam bernegara dan bermasyarakat ? Ya, namun Pancasila hanya menjadi bagian dari sejarah yang hanya dielu-elukan, diucapkan, dan diperbincangkan. Ia seakan-akan sebuah ideologi yang nampak kokoh, kuat, dan bersifat universal bila dilihat dari luar, namun sangat rapuh dan rentan bila terlihat dari dalam. Mengapa demikian ? Sebaik-baiknya agama bahkan ideologi akan menjadi tidak berguna bila tidak adanya penghayatan dan lebih-lebih penghayatan, pengaplikasian dalam kehidupan sehari-hari pun jarang ditemukan ataupun dirasakan. Dalam beragama dan berideologi haruslah bersifat harmonis dan sejalan karena agama dan ideologi ( Pancasila ) mempunyai hampir banyak kesamaan, terutama mengenai Ketuhahan Yang Mahaesa. Pancasila merupakan rumusan dasar dari NKRI, sehingga bila nilai-nilai Pancasila tidak berjalan dalam keseharian bermasyarakat dan bernegara, dapat dibayangkan seperti apa NKRI ini di masa depan dan sekarang pun semakin terlihat seperti apa NKRI ini.
Sumber :
b. http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/ilmu_budaya_dasar/bab2-manusia_dan_kebudayaan.pdf
c. http://www.cathnewsindonesia.com/wp-content/uploads/2012/01/DDocumentsMarto-Art-Shelterpansil- MP.jpg
d. https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOukrU1ZXf0rs4w-hhiVzIt00qWyIgeyO9Zhn02-me86Kc6ueZaKkFxwljBmSo-22HXPc5D868hx32D9XJBT1PTx1kfmnubDW6-TuUMqUs2jnzgGfBmKoplh3_jNVxBzltVLw0_aY4X6lQ/s400/pancasila.jpg
e. http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/c/c0/Garuda_Pancasila.jpg