Menurut
kodratnya manusia itu adalah makhluk sosial. Setiap lahir ke dunia langsung disambut
dalam suatu pergaulan hidup, yakni di tengah suatu keluarga atau anggota
masyarakat lainnya. Tidak ada satu
manusiapun yang luput dari
pergaulan hidup. Ditengah-tengah manusia lain itulah, seseorang dapat hidup dan
berkembang baik fisik/jasmani maupun mental/spiritualnya. Ada dua hal yang mendorong
orang hidup bergaul dengan manusia lain, yakni dorongan kodrat dan dorongan
kebutuhan hidup.
A. Dorongan
Kodrat
Kodrat ialah
sifat, keadaan, atau pembawaan alamiah yang sudah terjelma dalam diri manusia
sejak manusia itu diciptakan oleh Tuhan. Misalnya menangis, bergembira,
berpikir, berjalan, berkala, mempunyai
keturunan dan sebagainya. Setiap manusia mempunyai kemampuan untuk
itu semua. Dorongan kodrat
menyebabkan manusia mempunyai keinginan atau harapan, misalnya menangis, tertawa,
bergembira, dan sebagainya. Seperti
halnya orang yang menonton pertunjukan lawak, mereka ingin tertawa, pelawak
juga mengharapkan agar penonton tertawa terbahak-bahak. Apabila
penonton tidak tertawa,
harapan kedua belah
pihak gagal, justru sedihlah
mereka.
Kodrat juga
terdapat pada binatang dan tumbuh-tumbuhan, karena binatang dan tumbuhan perlu
makan, berkembang biak dan mati. Yang mirip dengan kodrat manusia ialah kodrat
binatang, walau bagaimanapun juga besar
sekali perbedaannya. Perbedaan antara kedua makhluk itu, ialah bahwa manusia memiliki budi dan kehendak.
Budi ialah akal, kemampuan untuk memilih. Kedua hal tersebut tidak dapat
dipisahkan, sebab bila orang akan memilih, ia harus mengetahui lebih dahulu
barang yang dipilihnya. Dengan budinya manusia dapat mengetahui mana yang baik
dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, dan dengan
kehendaknya manusia dapat memilih. Dalam
diri manusia masing-masing sudah terjelma sifat, kodrat pembawaan dan kemampuan
untuk hidup bergaul, hidup bermasyarakat atau hidup bersama dengan manusia lain.
Dengan kodrat ini, maka manusia mempunyai
harapan.
B. Dorongan Kebutuhan Hidup
Sudah kodrat pula
bahwa manusia mempunyai bermacam-macam kebutuhan hidup. Kebutuhan hidup itu pada garis besamya dapat dibedakan
atas kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Kebutuhan jasmaniah misalnya
makan, minum, pakaian, rumah (sandang, pangan, dan papan), ketenangan, hiburan,
dan keberhasilan. Untuk memenuhi semua kebutuhan itu manusia bekerja sama
dengan manusia lain. Hal ini disebabkan, kemampuan manusia sangat terbatas,
baik kemampuan fisik/jasmaniah maupun
kemampuan berpikirnya.
Dengan adanya
dorongan kodrat dan dorongan kebutuhan hidup itu maka manusia mempunyai
harapan. Pada hakekatnya harapan itu adalah keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Menurut Abraham Maslow sesuai dengan kodratnya, harapan manusia atau kebutuhan
manusia itu ialah :
a) kelangsungan
hidup (survival),
b) keamanan
( safety
),
c) hak
dan kewajiban mencintai dan dicintai
(be loving and love),
d) diakui
lingkungan (status),
e) perwujudan
cita-cita (self actualization),
a) Kelangsungan
Hidup (survival)
Untuk
melangsungkan hidupnya manusia membutuhkan sandang, pangan dan papan (tempat
tinggal). Kebutuhan kelangsungan hidup
ini terlihat sejak bayi lahir. Setiap bayi begitu lahir di bumi menangis; ia
telah mengharapkan diberi makan/minum. Kebutuhan akan makan/minum ini terus berkembang
sesuai dengan perkembangan hidup manusia. Sandang, semula hanya berupa
perlindungan/kemanan, untuk melindungi dirinya dari cuaca. Tetapi dalam perkembangan
hidupnya, sandang tidak hanya sebagai
perlindungan kemanan, tetapi
lebih cenderung kepada kebutuhan lain. Peran
yang dimaksud adalah tempat tinggal atau
rumah. Rumah kebutuhan primer manusia, karena rumah itu sebagai tempat berlindung,
dari panas, gelap, dan sebagainya. Untuk mencukupi kebutuhan pangan, sandang,
dan papan itu, maka manusia sejak kecil telah mulai belajar. Dengan pengetahuan
yang tinggi harapan memperoleh pangan, sandang,
dan papan yang layak akan terpenuhi. Atau tiap manusia perlu kerja keras dengan
harapan apa yang diinginkan, yakni
pangan, sandang dan papan yang layak terpenuhi.
b) Keamanan
Setiap orang
membutuhkan keamanan. Sejak seorang anak lahir ia telah membutuhkan keamanan.
Begitu lahir, dengan suara tangis, itu pertanda minta perlindungan. Setelah
agak besar, setiap anak menangis dia akan diam setelah dipeluk oleh ibunya.
Setelah bertambah besar ia ingin dilindungi.
Rasa aman tidak harus diwujudkan dengan perlindungan yang nampak, secara moral
pun orang lain dapat memberi rasa aman. Dalam hal ini agama sering merupakan
cara memperoleh keamanan moril bagi pemiliknya.
Walaupun secara fisik keadaannya dalam bahaya, keyakinan bahwa Tuhan memberikan
perlindungan berarti sudah memberikan keamanan yang diharapkan.
c) Hak dan Kewajiban
Mencintai dan Dicintai
Tiap orang
mempunyai hak dan kewajiban. Dengan pertumbuhan manusia maka tumbuh pula
kesadaran akan hak dan kewajiban. Karena itu tidak jarang anak-anak remaja
mengatakan kepada ayah atau ibu. "Ibu ini kok menganggap Reny masih kecil
saja, semua diatur!" Itu suatu
pertanda bahwa anak itu telah tambah kesadaran akan hak dan kewajibannya. Bila
seorang telah menginjak dewasa, maka ia merasa sudah dewasa, sehingga sudah saatnya
mempunyai harapan untuk dicintai dan mencintai. Pada saat seperti ini remaja
banyak mengkhayal. Ia telah sadar akan keberadaannya. Pada usia itu, biasanya
terjadi konflik batin pada dirinya dengan pihak orang tua. Sebab umumnya remaja
mulai menentang sifat-sifat orang tua
yang dianggap tidak sesuai dengan
alamnya.
d) Diakui
Lingkungan ( Status )
Setiap manusia
membutuhkan status. Siapa, untuk apa, mengapa manusia hidup. Dalam lagu
"untuk apa" ada lirik yang berbunyi "aku ini anak siapa, mengapa
aku ini dilahirkan". Dari bagian lirik itu kita dapat mengambil
kesimpulan, bahwa setiap manusia yang lahir di bumi ini tentu akan bertanya
tentang statusnya. Status keberadaannya. Status dalam keluarga, status dalam
masyarakat, dan status dalam negara. Status itu penting, karena dengan status orang
tahu siapa dia. Harga diri orang antara lain melekat pada status orang itu.
Misalnya ada anak haram, biarpun anak
haram itu tingkah lakunya baik dan tidak
berdosa sebab yang berdosa orang tuanya, namun masyarakat tetap memberikan cap
yang negatif. Bahkan ada orang yang berpendapat jangan memberi makan/pertolongan
kepada anak jadah (haram). Alangkah
kejamnya manusia itu, dengan adanya harapan untuk memperoleh status ini berarti
orang menguasai hak milik nama baik, ingin berprestasi, ingin mengingkatkan
harga diri, dan sebagainya.
e) Perwujudan
Cita-cita
Selanjutnya
manusia berharap diakui keberadaannya sesuai dengan keahliannya atau kepangakatannya
atau profesinya. Pada saat itu manusia mengembangkan bakat atau kepandaiannya
agar ia diterima atau diakui kehebatannya.
Artikel :
Seribu Harapan di Setra Dalam Ubud
Rabu, 16 Juli 2008 |
06:41 WIB
Oleh Benny Dwi Koestanto
Sejatinya ke mana perginya
jiwa-jiwa orang meninggal? Bukankah sebenarnya jiwa-jiwa itu tidak pergi, tapi
justru pulang ke Sang Pemilik Kehidupan? Maka, berbahagialah mereka yang
mengantar kepulangan itu dengan penuh syukur dan sukacita.
Mengikuti, menyaksikan, dan
merasakan upacara pelebon/ngaben (kremasi) keluarga kerajaan di Puri Agung
Ubud, Gianyar, Bali, sepekan terakhir seperti memandang diri sendiri di hadapan
cermin.
Dalam tradisi masyarakat Bali,
tubuh seseorang hanyalah wadah bagi jiwanya. Saat seseorang meninggal
dipercayai bahwa atman atau jiwa tetap di sekitar tubuh. Tubuh terdiri dari
unsur api, udara, air, bumi, dan ruang hampa harus kembali ke alam semesta,
menyatu dengan Sang Pencipta. Inilah tujuan ngaben.
Kematian sejatinya bukan akhir,
tetapi awal. Lebih penting lagi cara hidup seseorang dan bagaimana harapan
sangat kuat keluarga almarhum setelah kematian datang.
Itulah yang jelas tertangkap dari
cara sanak keluarga, rekan, dan warga melaksanakan ngaben atau pelebon. Nyaris
tidak ada tangis, tapi wajah-wajah bersemangat, penuh harapan bagi yang telah
meninggal, maupun yang ditinggalkan.
Kremasi tiga anggota keluarga
Puri Agung Ubud ini tergolong peristiwa besar, bahkan terbesar dalam tiga
dasawarsa terakhir. Maka, ketika ngaben mencapai puncaknya, Selasa (15/7), ruas
jalan sepanjang 2 kilometer di Jalan Raya Ubud selebar 5 meter dan jadi jalur
arak-arakan jenazah menuju Setra (pemakaman) Dalam Puri Agung Ubud dari
Kompleks Puri Agung Ubud disesaki manusia, warga setempat, warga daerah lain
Bali, hingga turis dari mancanegara. Panitia menaksir jumlah hadirin mencapai
300.000 orang.
Tiga orang yang dikremasi itu
tergolong dituakan dan terpandang. Mereka adalah Tjokorda Gde Agung Suyasa,
kepala keluarga Puri Agung Ubud dan ketua komunitas tradisional di Ubud sejak
1976; Tjokorda Gede Raka, seorang pensiunan di Kepolisian Kota Besar Denpasar;
dan Gung Niang Raka. Turut pula dikremasi 68 jenazah dari empat banjar desa
adat sekitar Puri Agung Ubud: Banjar Sambahan, Ubud Tengah, Ubud Kelod Peken,
dan Ubud Kaja.
Tjokorda Agung Suyasa lahir 14
Juli 1941, anak ketiga dari Tjokorda Gde Ngurah dari permaisuri pertama
Tjokorda Istri Muter. Suyasa meninggal 28 Maret 2008, sedangkan Tjokorda Gde
Raka dari Puri Anyar Ubud meninggal sepekan sebelumnya. Desak Raka adalah istri
pertama dari almarhum Tjokorda Raka dari Puri Kaleran Belingsung Ubud. Desak
Raka lahir 1917 dan meninggal 23 Desember 2007. Jenazah Desak Raka sebenarnya
pernah dikremasi pada pelebon sederhana, beberapa saat setelah meninggalnya.
Namun, kini memperoleh kremasi lengkap.
Juru bicara Puri Ubud, Tjokorda
Raka Kerthyasa, menjelaskan ngaben kali ini adalah pertama terbesar sejak 1979
saat ngaben seniman masyhur Ubud yang juga keturunan puri, Cokorda Gde Agung
Sukawati. Mengingat fungsi puri/kerajaan dianggap penting dari sisi penegak
moral dan ritual keagamaan, dukungan masyarakat di Bali pun sedemikian besar.
Setidaknya 68 desa adat se-Bali secara gotong royong membantu upacara ini.
”Pelebon bukanlah suatu acara duka, tetapi diyakini sebagai cara menghibur
jiwa-jiwa yang telah meninggal dan menjaga agar jiwa mereka tidak terganggu
oleh tangisan yang ditinggal. Di sisi lain, pelebon merupakan bentuk gotong royong
seluruh anggota keluarga dan masyarakat untuk mengurangi beban biaya,” kata
Kerthyasa, Jumat lalu.
Menurut Kerthyasa, berapa pun
besarnya biaya upacara keagamaan—biaya fisik dalam seluruh ritual kremasi di
Puri Agung Ubud kali ini sekitar Rp 3 miliar—upacara itu tidak dapat berhenti
di tengah jalan. ”Dalam ngaben niri (sendiri) biaya bisa di atas Rp 50 juta
dari kantong pribadi, tapi dalam ngaben massal biaya bisa ditekan jadi Rp 5
juta,” kata Ni Nyoman Rented, menantu almarhumah Ni Wayan Genjong, salah satu
petani penggarap yang jenazahnya ikut dalam ngaben massal ini.
Ngaben massal bersama tiga
anggota Puri Agung Ubud juga terasa lebih istimewa bagi keluarga peserta.
Harapan melihat kepulangan jiwa sanak keluarga ke Hyang Widhi Wasa terasa kian
besar karena ngaben massal digelar bersama keluarga kerajaan.
Sekitar pukul 12.30, Selasa
kemarin, arak-arakan pun dimulai. Seluruh jenazah ditempatkan di sebuah bade
(menara untuk jenazah dan yang tertinggi kali ini 28,5 meter dengan berat 11
ton) diarak ribuan warga Bali. Prosesi juga diikuti patung lembu penuh hiasan
megah dan disucikan masyarakat Hindu serta patung Nagabanda. Patung naga hanya
muncul pada kremasi keluarga puri yang dituakan.
Saat dikremasi, jenazah
ditempatkan di atas menara sebagai simbol antara bumi dan langit. Sebuah bhoma
(topeng bermuka seram) ditempatkan di belakang menara untuk menakuti roh jahat
dan topeng garuda di depan menara. Dengan beban sangat berat, plus kondisi
jalan sempit dan penuh sesak manusia, sungguh tidak mudah mengusung bade-bade
serta patung-patung.
Begitu sampai di pemakaman,
seluruh pengunjung bertepuk tangan, sedangkan para pengusung bersorak. Prosesi
dilanjutkan ke area pemakaman (setra), diiringi gamelan bleganjur. Jenazah yang
sudah dibalut kain kafan bersama aneka sesaji dimasukkan ke dalam perut patung
lembu. Tepat pukul 18.30, api dinyalakan dan dalam sekejap melalap habis patung
lembu, nagabanda, serta jenazah-jenazah.
Pada akhir acara, pedanda
membunyikan genta untuk menolong jiwa mencapai surga. Abu jenazah akan dilarung
ke laut, simbol pengembalian ke alam semesta.
Beberapa hari kemudian, tahap
akhir upacara, yaitu nyekah; penyucian jiwa, yang akan ditempatkan sebagai
leluhur di masing-masing merajan (tempat suci di kompleks pura keluarga).
Pendapat :
Harapan adalah
sebuah kata yang sering terucap dan ia sering berada di setiap doa-doa yang diucapkan
sepenuh hati oleh setiap manusia. Harapan berarti kenginan yang lahir dari
penyatuan hati dan pikiran atas sesuatu yang diinginkan. Harapan, kata yang
setiap manusia pasti mengetahui dan mengenalnya. Maka, harapan dapat dikatakan
sebagai bagian dari perjalanan hidup manusia yang berperan untuk memotivasi
manusia dalam kehidupan yang baik dan benar.
Harapan sendiri
terlahir sebagai hasrat dari keinginan yang berada di dalam diri manusia. Ia
menjadi sesuatu yang begitu penting karena dengan adanya harapan dalam diri
manusia, maka manusia dapat hidup dengan layak, dengan cara yang baik dan juga
benar. Harapan berasal dari keinginan yang bersumber pada akal dan budi manusia.
Manusia memiliki akal dan budi sebagai pembeda dan penunjuk atas yang haq dan
yang batil, yang benar dan yang salah, yang baik dan yang jahat. Bersumber dari
akal dan budi tesebut harapan berasal. Akal dan budi pun tidak bekerja
sendirian karena ia memerlukan hasrat berupa kehendak untuk dapat mewujudkan
harapan. Akal dan budi berperan penting dalam membedakan suatu hal, dalam hal
ini berupa keinginan, dan menunjukan apakah keinginan tersebut baik dan
bermanfaat untuk dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya atau tidak baik dan
membawa keburukan untuk dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Setelah
manusia sudah dapat membedakan keinginan yang ia inginkan dengan akal dan
budinya, hasrat berupa kehendak mulai memainkan peranannya. Idealnya, hasrat
berupa kehendak akan memilih dan condong kepada kebaikan karena pada dasarnya
hasrat manusia itu fitrah, namun adakalanya ia dapat memilih dan condong kepada
keburukan karena ia lebih mengutamakan nafsu untuk kepentingannya pribadi tanpa
melihat dampak kepentinganya terhadap lingkungan sekitarnya, dan akal dan
budinya telah terbelengu oleh nafsu serakahnya.
Setelah akal dan
budi serta hasrat berupa kehendak melakukan tugasnya mengenai harapan atas
keinginan manusia, maka terwujudlah harapan tersebut menjadi kenyataan, baik
berupa fisik maupun non-fisik. Selain disebabkan dorongan atas akal dan budi
serta hasrat berupa kehendak, dorongan lain berupa kebutuhan hidup turut
memberi pengaruh atas harapan yang diinginkan oleh manusia. Kebutuhan hidup
ialah kebutuhan yang harus ada untuk dapat menjalani kehidupan dengan baik dan
benar serta layak. Bila salah satu dari sejumlah kebutuhan hidup tidak dapat
terpenuhi, maka dapat dipastikan bahwa manusia tersebut manjalani hidupnya
dengan kegelisahan bahkan kecemasan yang berujung pada keburukan dan
ketidaklayakan bagi dirinya sendiri bila kegelisahan dan kecemasan tersebut
tidak teratasi dengan baik. Kebutuhan hidup merupakan hal dasar bagi manusia
untuk dapat menjalani hidup.
Begitu
pentingnya kebutuhan hidup dalam mempengaruhi harapan yang akan terwujud.
Kebutuhan hidup bahkan dapat menjadi superior atas akal dan budi yang dapat
menjadi inferior sehingga kebutuhan hidup dapat begitu menentukan dan mendorong
hasrat berupa kehendak untuk mewujudkan harapan dibanding dengan akal dan budi
sebagai pembeda dan penunjuk. Oleh karena itu, kebutuhan hidup tidak dapat
diremehkan dalam mewujudkan harapan. Bahkan kebutuhan hidup dapat menjadi
alasan yang lebih masuk akal dalam mewujudkan harapan dibandingkan akal dan
budi itu sendiri.
Berdasarkan
artikel di atas, kegiatan ngaben ( kremasi ) merupakan hal yang penting dan
begitu berarti bagi masyarakat yang menjalaninya. Ia merupakan suatu upacara
yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat setempat. Ngaben
( kremasi ) berarti harapan karena ia dapat mengembalikan jiwa yang telah
terpisah dari tubuhnya untuk kembali kembali ke alam semesta dan menyatu dengan
Sang Pencipta menurut kepercayaan dan keyakinan masyarakat setempat. Ngaben
menjadi suatu bentuk upacara yang diyakini sebagai cara untuk dapat menghibur
jiwa-jiwa yang telah meninggal dan agar jiwa-jiwa tersebut tidak terganggu
dengan tangisan keluarganya sehingga ngaben bukanlah suatu acara duka dan
bersedih-sedihan. Karena dari upacara ngaben, terlihat bahwa kematian bukanlah
akhir dari jiwa yang terus hidup, melainkan awal bagi jiwa tersebut. Ia adalah
cara hidup seseorang dan sebagai bentuk harapan yang sangat kuat bagi keluarga
almarhum setelah kematian menjemput. Tidak tangis yang meliputi keluarga yang dtinggalkan,
melainkan wajah-wajah yang bersemangat, penuh harapan bagi jiwa yang telah
meninggal dan keluarga yang dtinggalkan jiwa tersebut.
Dari perihal
seputar upacara ngaben di atas, dapat dikatakan bahwa harapan tidak hanya
sebagai suatu hasil pemikiran akal dan budi, dorongan kebutuhan hidup, dan
pencapaian atas hasrat berupa kehendak yang terwujud, harapan pun sebagai
motivasi dan penopang hidup yang memiliki nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya, dalam hal ini berupa nilai-nilai kebaikan dan kebajikan. Nilai-nilai
kebaikan dan kebajikan ini memberikan makna dan warna kehidupan dalam harapan
yang dimiliki oleh setiap manusia. Oleh sebab itulah, harapan menjadi begitu
sangat berharga dan penting dalam menjalani kehidupan.
Sumber :
a.
Nugroho, Widyo dan Achmad Muchji.1996.Ilmu Budaya Dasar.Jakarta:Universitas
Gunadarma.
b.
http://nasional.kompas.com/read/2008/07/16/06415043/function.session-start
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkp3wYlvimZO9Y59yKkfEtEUaXmFGcCOn8kjRKvKshGQ5NOV2teo02Gbp2OAKKnFTBchY57KQlRtD9F_5E0ultR9UV_9PNRRo_USK4jld0pbGRqYDL8pFhz0aC1o3wTIC4ZOXAqUkMxUWG/s1600/harapan.jpg
http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2012/02/1330415230593673812.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEitURcWhUGAaMKBgHrOhxvbF-M1dOGO8v43HHF-NKZUouyVAv3ultXvgvcvQNlQHUphvHDnFKM89MqC-t3_lPxLzNnL_BIGS9Hat7VklC2upvPolqLN60clmgye_j52eQGjBlStOwesvMp9/s1600/hope.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5xbhB1hQBPx8oOCczyZjitCMVsLQU0GFTgDRZWn0ew5-Lq863qtV7yaDrkJmMJY-korxTT0xbJG2cbdFPtSlbATR_rKNOzUYaxJWxTQrXdEBoQXDTWsER8N9Ijjny7CF4CqUbBIA0k1eN/s1600/harapan.jpeg